filsafat dan ilmu




Pengertian Filsafat dan Ilmu

            Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
            Secara harfiyah atau etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan (hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan. Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kalimat isim atau kata benda dari kata falsafa ini adalah falsafah dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai kata filsafat,  padahal bukan dari kata falsafah (Arab) dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah (jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
            Secara terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia. Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika. Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan, yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya adalah metafisika, (b) apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika, (c) sampai di mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu manusia, jawabannya adalah antropologi.
            Ilmu berasal dari bahasa arab “alima, ya’lamu, ilman” yang berarti mengertri, memamhami benar-benar. Dalam bahasa inggris disebut science, dari bahasa latin scientia (pengetahuan)- scire (mengetahui). Jadi dalam kamus bahasa Indonesia bahwa pengertian ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu.
Adapun beberaoa cirri-ciri utama ilmu menurut terminology antara lain adalah:\
1.      Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berneda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi.
2.      Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan suatu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu koherasi sistematik adalah hakikat ilmu
3.      Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat didalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahnya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Akan tetapi sering dengan berjalannya waktu maka terdapatlah cabang-cabang ilmu. Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlag cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaahan yang memungkinan analisis yang makin cermat dan saksama menyebabkan obyek forma (obyek ontology).
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabag utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi runmpun ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsat morat yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu social (the social sciences). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam bercabag lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energy), kima (mempelajari subtansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit) dan ilmu bumi (atau the earth scienceyang mempelajari bumi kita ini).
Tiap-tiap cabang kemudian membikin ranting-ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidridinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan dan magnetism, fisika nuklir dan kimia fisik. Sampai tahp ini maka kelompok ilmu ini termasuk kedalam ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu murni kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan seperti contoh dibawah ini:
ILMU MURNI                                                     ILMU TERAPAN
Mekanika                                                              mekanik teknik
Hidrodinamika                                                      teknik aeronautical/ teknik desain kapal
bunyi                                                                     teknik akustik
cahaya dan optic                                                   teknik iluminasi
kelistrikan/ megnestisne                                        teknik elektro / teknik listrik
fisika nukril                                                           teknik nuklir
                                                                                
ilmu social berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu social yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kehidupannya leawat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi social manusia), dan ilmu politik (mempelajari system dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
 Obyek Kajian Filsafat

      Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, baik sesuatu yang bersifat konkret seperti kerbau, sapi, manusia, pohon, batu, tanah, air dan tanah maupun abstrak seperti nilai-nilai, ide-ide, paham atau aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh manusia menjadi obyek material bagi ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal adalah cara pandang tertentu tentang obyek material tersebut, misalnya pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran.

      Filsafat, sebagai sebuah proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik yang nampak (dunia empiris) maupun yang tidak nampak (abstrak, metafisika). Menurut sebagian filosof obyek material filsafat itu menyangkut tiga hal, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran dan yang ada dalam kemungkinan.[1][4] Obyek material filsafat pada umumnya sama dengan obyek penelitian sains, bedanya terletak pada dua pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek material yang empiris, sedangkan filsafat lebih mengarah kepada yang abstraks. Kedua, ada obyek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir (obyek materi yang selamanya tidak empiris). Jadi obyek material filsafat lebih luas ketimbang obyek material sains.[2][5]

      Adapun obyek formal filsafat adalah sifat penyeledikan yang radikal, yakni keingintahuan tentang hakikat kebenaran sesuatu, dengan cara melakukan penyelidikan secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Dengak kata lain bahwa obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan obyektif tentang sesuatu yang ada untuk dapat mengetahui hakikat yang sesungguhnya.


Karasteristik atau Sifat Dasar Filsafat
1.       Berfikir Radikal        
            Berfilsafat berarti berfikir secara radikal. Para filosuf adalah para pemikir radikal, sehingga mereka tidak akan pernah terpaku hanya kepada fenomena suatu identitas atau realitas tertentu saja. Keradikalan berfikir mereka akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan. Radik atau akar sebuah realitas memang selalu dianggap penting oleh mereka karena menemukan akar atau radik tersebut membuat mereka paham akan sebuah realitas tersebut. Berpikir radikal akan memperjelas realitas lewat penemuan dan pemahaman akan realitas itu sendiri. Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat atau akar seluruh sesuatu itu dilakukan secara mendalam (radikal). Lois O. Kattsoff (1996 : 6) mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi bukanlah melamun dan bukan pula berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematis dan universal.
2.      Mencari asas
            Dalam memandang seluruh realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas (dasar) yang peling hakiki dari keseluruhan realitas tersebut. Para filsuf Yunani, yang terkenal dengan filsuf alam menagamati keanekaragaman realitas di alam semesta ini, lalu bertanya “apakah di balik realitas alam yang beraneka ragam ini ada suatu asas atau dasar ?”. Mereka mulai mencari jawaban yang hakiki tentang itu semua. Thales menemukan asas alam semesta ini adalah air, Aneximenes menemukan bahwa asasnya adalah udara, dan Empedokles mengatakan ada empat unsur yang membentuk realitas alam ini, yaitu api, udara, tanah dan air.
3.      Memburu Kebenaran
Berfilsafat berarti memburu kebenaran hakiki tentang sesuatu. Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki dan tidak meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh atau hakiki dan dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka. Kebenaran tentang sesuatu yang sudah ditemukan oleh seorang filsuf akan selalu diteliti ulang oleh yang lain demi mencari kebenaran yang lebi hakiki dan dapat dipertanggungjawabkan.
Aristoteles membagi filsafat kepada tiga bidang studi, yaitu :
1)    Filsafat spekulatif atau teoretis, yakni suatu cabang filsafat yang bersifat obyektif. Termasuk di dalamnya adalah fisika metafisika, biopsikologi dan sebagainya. Tujuan utama filsafat ini adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
2)    Filsafat Praktis, yakni filsafat yang memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya, termasuk di dalamnya adalah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat praktis ini adalah membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan itu
3)    Filsafat Produktif, yaitu pengetahuan atau filsafat yang membimbing dan menuntun manusia menjadi produktif lewat suatu keterampilan khusus, termasuk di dalamnya adalah kritik sastra, retorika dan estetika. Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat filsafat ini adalah agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun secara puitis dalam terang pengetahuan yang benar.

1.  Epistemologi

      Epistemologi merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme bisa diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran dan logos = kata, pikiran, teori atau ilmu. Dengan demikian epistemologi berarti teori atau filsafat tentang pengetahuan. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan “theory of knowledge” (teori pengetahaun). Epistemologi adalah bidang studi filsafat yang mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan yang meliputi antara lain bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan.
      Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh epistemologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah tercapainya pengetahuan yang benar[3][9]. Dengan kata lain bahwa secara umum, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu. Ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek. Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validasi pengetahuan. Jadi, pernyataan mengenai apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya serta kebenaran obyektif, subyektif absolut dan relatif merupakan lingkup dan medan kajian epistemologi.

      Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan epistemologi adalah : sumber, asal mula dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan pengetahuan; serta validasi dan rehabilitas dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah : apakah pengetahuan itu?, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan?, apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi?, dan apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya merupakan dugaan?

1.1.    Tentang Pengetahaun

Jika dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, berarti dia telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan demikian pengatahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui dan obyek, yakni sesuatu yang diketahui. Dan pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran, karena demi mencapai kebenaranlah maka pengetahuan itu eksis. Kebenaran adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa memiliki begitu banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu, sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa amat sulit untuk mencpai kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek pengetahuan.




 1.2.    Perbedaan Pengetahaun dengan Ilmu

Dari seperangkat pengertian yang ada, pengetahaun dengan ilmu sering dikacaubalaukan. Keduanya sering dianggap mempunyai persamaan makna, bahkan telah dirangkum menjadi sebuah kata majemuk yang mengandung arti tersendiri. Padahal apabila kedua kata itu berdiri sendiri, maka perbedaannya akan nampak dengan jelas. Kata pengetahuan diambil dari bahasa Inggris knowledge, sedangkan ilmu berasal dari bahasa Arab ilm atau kata Inggis science. Makna semacam ini nampak lebih baik daripada mencampuradukkan dua kata tersebut. Dengan memisahkan kedua kata ini, maka akan diperoleh pengertian dan perbedaannya masing-masing.

Pengetahaun dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapi atau obyek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud benda-benda fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal. Dapat pula obyek yang dipahami itu berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan yang cara memahaminya dengan komprehensi, bahkan dapat berwujud subsistensi yang dipahami lewat persepsi. Apabila obyeknya berupa nilai (value), pemahamannya lewat persepsi pula. Franz Rosenthal mengemukakan bahwa ada lebih dari seratus definis pengetahaun, antara lain : (a) pengetahaun yang menyangkut proses mengetahui, (b) pengetahuan yang menyangkut tentang pengamatan, (c) pengetahaun yang menyangkut proses yang diperoleh melalui persepsi mental dan (d) pengetahuan yang menyangkut kepercayaan.

Pengertian ilmu sebagaimana dikemukakan oleh The Liang Gie adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya manusia memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman yang senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungan serta mengubah sifat-sifatnya sendiri. Sementara Charles Singer mengatakan “Ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan”. Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu Dalam Perspektif menulis “ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan”.

Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat perbedaan ciri-cirinya. Menurut Herbert L. Searles ciri-ciri tersebut sebagai berikut : “Kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan ciri empiris, maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematisnya”. Mohammad Hatta (mantan Wakil Presiden RI pertama) membedakan ilmu dengan pengetahuan sebagai berikut : “Pengetahuan yang didapat dari pengalaman disebut pengetahuan pengalaman, atau ringkasnya pengetahuan. Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut ilmu. Bahwasanya pengetahuan saja bukanlah ilmu, dapat kita persaksikan pada binatang yang juga mempunyai pengetahuan, misalnya anjing. Dari gerak tangan tuannya atau dari keras atau lembutnya suara tuannya itu, ia tahu apa yang dimaksud tuannya terhadap dia. Tiap-tiap ilmu mesti bersendi kepada pengetahuan. Pengetahuan adalah tangga yang pertama bagi ilmu untuk mencari keterangan lebih lanjut”.

 1.3.    Sumber Pengetahuan

      Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam epistemologi, sebab hal ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatan. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan, yaitu dalam sifatnya baik yang apriori maupun aporteriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman bathin. Sedangkan pengetahuan aporteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dalam mengetahui sesuatu diperlukan alat-alat, seperti pengalaman indera (sense experience), nalar (reason), otoritas (othority), intuisi (intuition), wahyu (revelation) dan keyakinan (faith).

2. Ontology

   Ontologi adalah filsafat umum yang juga sering disebut metafisika umum. Ontologi dapat dipahami sebagai “pohon” filsafat atau filsafat itu sendiri. Sebagai pohon filsafat, maka ontologi atau metafisika umum ini mempersoalkan apa yang ada di balik “yang ada” (hakikat yang ada), yaitu meliputi pertanyaan tantang hakikat Tuhan sebagai Sang Pencipta alam beserta isinya.

   Cakupan ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah ilmu tentang manusia dan masyarakat, ilmu alam dan ilmu ketuhanan. Oleh karena itu, filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai obyek yang sama yaitu sama-sama menyelidiki manusia, alam dan Tuhan, hanya saja perbedaannya terletak pada kualitas sasaran yang dituju. Kualitas sasaran filsafat bersifat metafisik (hakikat) secara utuh dan menyeluruh, sedangkan kualitas ilmu pengetahuan hanya menyelidiki jenis, bentuk, sifat dan susunan fisik menurut bagian-bagian tertentu secara terpisah.

   Tokoh yang membuat istilah ontologi populer adalah Christian Wolff. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang ada” dan logi berarti “ilmu pengetahua atau ajran”. Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahaun atau ajaran tentang yang ada. Dalam ontologi ini terdapat beberapa aliran yang penting, yaitu antara lain : 1) dualisme, yang memandang alam ini terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya, 2) monisme (materialisme) yang memandang bahwa sumber yang asal itu hanya tunggal, 3) idealisme yang memandang segala sesuatu serba-cita atau serba roh, dan 4) aguosticisme yang mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti yang dikehendaki oleh ilmu metafisik.


3.Akseologi

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.  Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai
.
B. Dilema Moral dan Perkembangan Ilmu dan Teknologi

Ilmu tidak saja menjelaskan gejala-gejala alam untuk pengertian dan pemahaman. Namun lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejal;a tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Misal, ilmu mengembangkan teknologi untuk mencegah banjir. Bertrand Russell menyebut perkembangan ini sebagi peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi. Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalam kaitan dengan factor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral bersangkutan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini berkaitan dengan masalah cara penggunaan pengetahuan ilmiah atau secara filsafat dapat dikatakan, dalam tahap pengmbangan konsep terdapat masalah moral yang di tinjau dari segi ontology keilmuan sedangkan dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.
Peradaban manusia bergerak seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kedua hal tersebut, pemenuhan kebutuhan manusia menjadi lebih mudah dan cepat. Namun, terdapat sisi buruk dari imu yaitu sejak dalam tahap pertama pertumbuhannnya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi. Ilmu tidak saja bertujuan untuk menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman tetapi bertujuan untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi.
Dihadapkan pada masalah moral maka ilmuwan dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan pertama dan golongan kedua. Golongan pertama yaitu golongan yang menginginkan agar ilmu harus netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Adapun golongan kedua merupakan golongan yang berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu seperti pada saat era Galileo, sedangkan golongan kedua berusaha menyesuaikan kenetralan ilmu berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal: ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan,


ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi penyalahgunaan ilmu telah berkembang,dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti kasus revolusi genetika.
C. Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Etika keilmuan merupakan etika normatik yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang mempertanggungjawabkan keilmuannya. Etika normative menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuataan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan apa yang seharusnya terjadi.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Bagi seorang ilmuan nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau belum.
Tugas seorang ilmuan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metidologis yang tepat agar dapat dipergunakan oleh masyarakat.
Di bidang etika tangguna jawab seorang ilmuan adalah bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kasalahan.
D. Teori dan Penerapan
Kattsoff menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara yaitu:
• Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman.
• Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
• Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan suatu subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek yang diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian.

E. Nilai sebagai Obyek Suatu Kepentingan
Seringkali orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah jelas. Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang lain yang dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan dijumpai semacam keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju atau menentang. Dalam hal ini tersedia tiga kemungkinan pilihan yaitu: sikap setuju atau menentang tersebut sama sekali bersangkut paut dengan masalah nilai sikap tersebut bersangkutan dengan sesuatu yang tidak hakiki sikap tersebut merupakan sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai. Kemungkinan pertama sudah jelas. Kemungkinan kedua berarti bahwa, misalkan sikap tersebut ditimbulkan oleh suatu kualitas nilai tetapi bukan merupakan bagian dari hakekatnya. Kemungkinan ketiga berarti bahwa apabila seseorang mengatakan x bernilai maka dalam arti yang sama dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut mempunyai kepentingan terhadap x. Sikap setuju atau menentang oleh Perrydisebut kepentingan. Perry juga berpendapat bahwa setiap obyek yang ada dalam kenyataan maupun pikiran, setiap perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika berhubungan dengan subyek-subyek yang mempunyai kepentingan.
.
F. Ilmu, nilai dan keadaan bebas nilai
Pada zaman dulu pengadilan inkuisisi Galileo selam kurang lebih 2’5 Abad mempengaruhi proses perkembangan berfikfir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nila-nilai diluar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilai sebagai penafsiran metafisik keilmuan.
Dalam kurun ini para ilmuan berjuang untuk menegakan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya semboyan ilmu yang bebas nilai setelah pertarungan kuranglebih 250 tahun, maka para ilmuan mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya. Konflik seperti inipun terjadi terhadap ilmu-ilmu social dimana berbagai ideology mencoba mempengaruhi metafisik keilmuan.
Kejadian ini sering terulang kembali dimana sebagian metafisik keilmuan dipergunakan dari ajaran moral yang terkandung dalam ideology tertentu bukan seperti yang dituntut hakikat keilmuan. Mendapatkan otonomi terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogamatik ini, maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah pada masalah-masalah praktis. Sehingga konsep ilmiah yang bersifat abstrak dapat berwujud konkrit yang berupa teknologi.
G. Ilmu Terapan dan Masalah Perkembangan Nilai
Seringkali orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah jelas. Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang lain yang dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan dijumpai semacam keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju atau menentang.
Nilai bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian nilai juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan.









DAFTAR PUSTAKA
The tree of knowledge|satyavrat  www.google.com/search?q=pohon. Diakses pada tangal 30 september 2013.
http://makalah-asfida.blogspot.com/2011/11/filsafat-umum.html. Diakses pada tanggal 29 oktober 2013.
http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/. Diakses pada tanggal 29 oktober 2013.
Bahktiar, Amsal,  Filsafat Ilmu, cet.ke-13, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Suriasumantri S Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009.






Komentar