parsons
Bebicara mengenai sosiologi tidak lepas dari tokoh
sosiologi yang bernama Talcot Parson dimana parson berbicara mengenai Teori
aksi, pada dasarnya parsons merupakan pengikut weber yang utama. Teori aksi
yang dikembangkan mendapatkan sambutan luas. Istilah “action” menyatakan secara
tidak langsung suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri
individu. Dari semula parson menjelaskan bahwa Teori aksi memang tidak dapat
menerangkan keseluruhan aspek kehidupan social. Walaupun teori aksi berurusan
dengan unsure yang paling mendasar dari kehidupan social namun ia mengakui
bahwa unsure yang mendasar itu tidak berurusan dengan keseluruhan struktur
social.
Parson menempatka Teori Aksi ke dalam paradigma definisi
social. Paradigma definisi social berbeda dengan fakta social dimana definisi
social justru bertolak dari proses berpikir manusia itu sendiri sebagai
individu dilihat sebagai pelaku tindakan yang bebas tetapi tetap bertanggung
jawab. Artinya, di dalam bertindak atau beringteraksi itu, seseorang tetap
dibawah pengaruh baying-bayangs truktur social dan pranata-pranata dalam
masyarakat, tetapi focus perhatian paradigm ini tetap pada individu dengan
tindakannya itu.
Menurut paradigma ini, proses-proses aksi dan
interaksi yang bersumber pada kemauan individu itulah yang menjadi pokok
persoalan dari paradigma ini. Paradigma ini memandang, bahwa hakikat dari
realitas social itu (dalam banyak hal) lebih bersifat subjektif dibandingkan
objektif menyangkut keinginan dan tindakan individual. Dengan kata lain,
realitas social itu, lebih didasarkan kepada definisi subjrktif dari
pelaku-pelaku individual. Jadi, paradigma ini tindakan social tidak
pertama-tama menunjuk kepada struktur-struktur social, tetapi sebaliknya, bahwa
struktur social itu merujuk pada agregat definisi (makna tindakan) yang telah
dilakukan oleh individu-individu anggota masyarakat itu.
Parson menyusun skema unit-unit dasar tindakan
social dengan karakteristik sebagai berikut;
1.
Adanya individu
selaku actor.
2.
Actor dipandang
sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu.
3.
Actor mempunyai
alternative cara, alat serta teknik untuk mencapai tujuan.
4.
Actor berhadapan
dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam
mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang
tidak dapat dikendalikan oleh individu. Misalnya kelamin dan tradisi.
5.
Actor berada di
bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang
mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternative
untuk mencapai tujuan. Contohnya kendala kebudayaan.
Actor mengejar tujuan dalam situasi dimana
morna-norma mengarahkannya dalam memilih alternative cara dan alat untuk
mencapai tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau
alat. Tetapi ditentukan oleh kemampuan actor untuk memilih. Kemampuan inilah
yang disebut parsons sebagai “voluntarism”, singkatnya volutarisme adalah
kemampuan individu melakukan tidakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari
sejumlah alternative yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya.
Konsep
voluntarisme parsons inilah yang menempatkan teori aksi kedalam paradigm
definisi social. Actor menurut konsep voluntarisme ini adalah pelaku aktif dan
kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternative
tindakan. Walaupun actor tindak mempunyai kebebasan total, namun ia mempunyai
kemauan bebas dalam memilih berbagai alternative tindakan. Berbagai tujuan yang
hendak dicapai, kondisi dan norma serta situasi penting lainnya kesemuanya
membatasi kebebasan actor. Tetapi disebelah itu actor adalah manusia yang
aktif, kreatif dan evaluative.
Kesimpulan
utama yang dapat diambil adalah bahwa tindakan social merupakan suatu proses
dimana actor terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang
sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang
kesemuanya itu dibatasi kemungkinan – kemungkinannya oleh system kebudayaan
dalam bentuk norma-norma, ide-ide dan nilai-nilai social. Di dalam menghadapi
situasi yang bersifat kendala baginya itu, actor mempunyai sesuatu di dalam
dirinya berupa kemauan bebas.
Skinner berusaha menghilangkan konsep volutarisme
parsons dari dalam ilmu social, khususnya sosiologi. Menurutnya voluntarisme
parsons itu mengandung ide “autonomous man” maksudnya manusia serba memiliki
kebebasan dalam bertindak seakan-akan tanpa kendali. Sebagaimana diutarakan
diatas, melalui lima proposisinya parsons berpendirian bahwa manusia
berpendirian bahwa manusia adalah makhluk yang aktif, kreatif dan evaluative
dalam memilih di antara berbagai alternative tindakan dalam usaha mencapai
tujuan-tujuannya. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki seperangkat “bagian
dalam” yang menjadi sumber dari tindakannya. Orang hanya akan mampu berkarya,
memulai sesuatu dan menciptakan karena bagian dalamnya itu. Padahal
menurut Skinner pandangan yang
menganggap manusia mempunyai bagian dalam yang serba bebas demikian itu adalah
pandangan yang bersifat mistik dan berstatus metafisik yang harus disingkirkan
dari ilmu social. Pandangan yang menilai manusia mempunyai bagian dalam yang
menentukan tindakannya itu hanya diperlukan untuk menerangkan sesuatu yang
memang belum mampu diterangkan melalui berbagai cara yang ada. Eksistensinya
tergantung kepada ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk menerangkanya. Dalam
hal ini paradigm perilaku social menyanggupi untuk menerangkanya.
Paradigm
perilaku social memusatkan perhatiannya kepada antar hubungan antara individu
dan lingkungannya.
Lingkungan itu terdiri atas;
1.
Bermacam-macam
obyek social
2.
Bermacam-macam
obyek non social
Berbeda dengan paradigm definisi social
yang sudah dijelaskan diatas, maka didalam paradigma perilaku social ini sangat
menekankan pada pendekatan yang bersifat objektif empiris. Meskipun sama-sama
berangkat dari pusat perhatian yang sama, yakni “interaksi antarmanusia”,
tetapi paradigm perilaku social menggunakan sudut pandang “perilaku social yang
teramati dan dapat dipelajari”. Jadi, dalam paradigma ini perilaku social
itulah yang menjadi persoalan utama, karena dapat diamati dan dipelajari secara
empiris. Sementara apa yang ada dibalik perilaku itu (misalnya saja; maksud
dari perilaku tertent, motivasi dibalik perilaku itu, kebebasan, tanggung
jawab) berada diluar sudut pandang paradigma perilaku social ini.
Paradigma perilaku social memusatkan
perhatian pada persoalan tingkah laku dan pengulangan tingkah laku tertentu
sebagai pokok persoalan. Dalam paradigma ini, perilaku manusia dalam interaksi
social itu dilihat sebagai respons atau
tanggapan (reaksi mekanis yang bersifat otomatis) dari sejumlah stimulus atau
rangsangan yang muncul dalam interaksi tersebut. Sebagaimana contoh dalam dunia
politik, pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemilu sebgai contoh, kerap kali
menaruh perhatian besar pada teknik-teknik yang memastikan perilaku rakyat,
memilih figure yang diinginkan. Adakalanya perilaku manusia tidak berbeda jauh
dengan perilaku benatang, meskipu kita tahu manusia mampu berpikir dalam
bertindak, tetapi pekirannya itu kerap mengikuti pola tertentu yang kurang
lebih sama.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer George. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Wirawan I.B. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Komentar
Posting Komentar